Jemaah

Friday, 21 February 2014

#KALIMAH ALLAH - PERHAPS THIS IS THE BEST ANSWER - PART I

Assalamualaikum Warahmatullah Hiwabakatuh
My discussion today is about an encounter I had with a gentleman I just knew who is a Muslim but apparently sees Islam as a different Islam, unlike what we normally understand. In brief, he is still a Muslim (I believe so, Allah knows best) despite the fact that he seemed to favor some liberal thoughts. Interesting enough, this guy finished his secondary education at a well-known boarding school (SBP) in Malaysia, and this is not just another SBP but a religious school (Sekolah Aliran Agama).
This is not about painting a bad image on our local schools, but a highlight on how challenging it is outside there, that Islam (our faith) is being attacked from all directions, all the time, risking not only ourselves, but each and every one person we love in this world (close you eyes and think about them for a couple of seconds now).
7. My point of writing this is not just to share the story, but more than that is to offer recommendation on how do we deal with many questions we may have about Islam (or asked by others) and never less important, is to adjust the way we deal with such people.
8. We should be able to engage in constructive dialogues and discussions, and not to be in defensive mode all the time.
9. I am in no way trying to suggest that I have the best solution or methodology here, but I will just share what is at my best available, and next to come is the roles to play by each and every single one of us.
10. We, all of us, have jobs to do.
11. This lovely guy (by his personality and character) is a Malaysian and is about to graduate from a university from the United States of America (USA) soon (for brevity's sake, I will use America from now onward).
12. When I met him at KLCC, he brought along a close friend of him, an American guy by the name of Matthew.
13. Unfortunately I only met Matthew for a very short time as he headed somewhere else walking around the place- in a way, he's a tourist after all.
14. So the dialogue began between me and him, the Muslim guy, in Matthew's absence.
15. From the way the conversation took place, he seemed to be searching for truth i.e the right religion to believe in. Mind you, this guy was born a Muslim.
16. According to him, it was not America (that influenced him), but he had things in mind way back since he was still in Malaysia, and America is only a place that sort of 'confirmed' what he believed in.
17. Among the first question that he asked, surprisingly, was about whether God exist in the first place? And he didn't claim to be an atheist, but he believed that it is not wrong to ask.
18. So then, does God exist?

Tuesday, 4 February 2014

PETUNJUK AL-QURAN DALAM MEMILIH PEMIMPIN

Saya ingin memetik satu karangan tulisan Pak Agus Saputera berhubung perkara yang akan dibincangkan. Pada zaman sekarang semakin ramai orang berlumba-lumba mengejar kuasa, berebut kedudukan sehingga menjadikannya sebagai sebuah obsesi hidup. Menurut mereka yang menganut paham atau prinsip ini, tidak lengkap rasanya selagi hayat dikandung badan seandainya tidak menjadi orang penting, dihormati dan dihargai masyarakat. Menurut beliau menjadi "aset penting" sememangnya menjadi igauan mereka..baik dari kalangan ilmuan, politikus, birokrat, peniaga, tokoh masyarakat, bahkan sampai artis.
Mereka berebut mengejar kuasa tanpa mengetahui siapa sebenarnya dirinya, bagaimana kemampuannya, dan layakkah dirinya memegang kuasa(kepemimpinan) tersebut. Parahnya lagi, mereka tidak memiliki pemahaman yang benar tentang hakikat kepemimpinan itu sendiri. Kerana menganggap kuasa sebagai sesuatu yang mempunyai keistimewaan tersendiri seperti fasilitas, kewenangan tanpa batas, kebanggaan dan populariti. Padahal jabatan adalah tanggung jawab, pengorbanan, pelayanan, dan keteladanan yang dilihat dan dinilai banyak orang.
Hakikat kepemimpinan
Al-Quran dan Hadits sebagai pedoman hidup umat Islam sudah mengatur sejak awal bagaimana seharusnya kita memilih dan menjadi seorang pemimpin. Menurut Shihab (2002) ada dua hal yang harus dipahami tentang hakikat kepemimpinan. Pertama, kepemimpinan dalam pandangan Al-Quran bukan sekedar kontrak sosial antara sang pemimpin dengan masyarakatnya, tetapi merupakan ikatan perjanjian antara dia dengan Allah swt. Lihat Q. S. Al-Baqarah (2): 124, "Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat perintah dan larangan (amanat), lalu Ibrahim melaksanakannya dengan baik. Allah berfirman: Sesungguhnya Aku akan menjadikan engkau pemimpin bagi manusia. Ibrahim bertanya: Dan dari keturunanku juga (dijadikan pemimpin)? Allah swt menjawab: Janji (amanat)Ku ini tidak (berhak) diperoleh orang zalim".
Kepemimpinan adalah amanah, titipan Allah swt, bukan sesuatu yang diminta apalagi dikejar dan diperebutkan. Sebab kepemimpinan melahirkan kekuasaan dan wewenang yang gunanya semata-mata untuk memudahkan dalam menjalankan tanggung jawab melayani rakyat. Semakin tinggi kekuasaan seseorang, hendaknya semakin meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Bukan sebaliknya, digunakan sebagai peluang untuk memperkaya diri, bertindak zalim dan sewenang-wenang. Balasan dan upah seorang pemimpin sesungguhnya hanya dari Allah swt di akhirat kelak, bukan kekayaan dan kemewahan di dunia.
Kerana itu, ketika sahabat Nabi SAW, Abu Dzarr, meminta suatu kuasa, Nabi SAW bersabda: "Kamu lemah, dan ini adalah amanah sekaligus dapat menjadi sebab kenistaan dan penyesalan di hari kemudian (bila disia-siakan)".(H. R. Muslim). Sikap yang sama juga ditunjukkan Nabi saw ketika seseorang meminta jabatan kepada beliau, dimana orang itu berkata: "Ya Rasulullah, berilah kepada kami jabatan pada salah satu bagian yang diberikan Allah kepadamu. "Maka jawab Rasulullah saw: "Demi Allah Kami tidak mengangkat seseorang pada suatu kuasa kepada orang yang menginginkan kuasa itu".(H. R. Bukhari Muslim).
Kedua, kepemimpinan menuntut keadilan. Keadilan adalah lawan dari penganiayaan, penindasan dan pilih kasih. Keadilan harus dirasakan oleh semua pihak dan golongan. Diantara bentuknya adalah dengan mengambil keputusan yang adil antara dua pihak yang berselisih, mengurus dan melayani semua lapisan masyarakat tanpa memandang agama, etnik, budaya, dan latar belakang. Lihat Q. S. Shad (38): 22, "Wahai Daud, Kami telah menjadikan kamu khalifah di bumi, maka berilah putusan antara manusia dengan hak (adil) dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu".
Hal senada dikemukakan oleh Hafidhuddin (2003). Menurutnya ada dua pengertian pemimpin menurut Islam yang harus dipahami. Pertama, pemimpin berarti umara yang sering disebut juga dengan ulul amri. Lihat Q. S. An-Nisaâ 4): 5, "Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu". Dalam ayat tersebut dikatakan bahwa ulil amri, umara atau penguasa adalah orang yang mendapat amanah untuk mengurus urusan orang lain. Dengan kata lain, pemimpin itu adalah orang yang mendapat amanah untuk mengurus urusan rakyat. Jika ada pemimpin yang tidak mau mengurus kepentingan rakyat, maka ia bukanlah pemimpin (yang sesungguhnya).
Kedua, pemimpin sering juga disebut khadimul ummah (pelayan umat). Menurut istilah itu, seorang pemimpin harus menempatkan diri pada posisi sebagai pelayan masyarakat, bukan minta dilayani. Dengan demikian, hakikat pemimpin sejati adalah seorang pemimpin yang sanggup dan bersedia menjalankan amanat Allah swt untuk mengurus dan melayani umat/masyarakat.
Kriteria pemimpin
Para pakar telah lama menelusuri Al-Quran dan Hadits dan menyimpulkan minimal ada empat kriteria yang harus dimiliki oleh seseorang sebagai syarat untuk menjadi pemimpin. Semuanya terkumpul di dalam empat sifat yang dimiliki oleh para nabi/rasul sebagai pemimpin umatnya, yaitu: (1). Shidq, yaitu kebenaran dan kesungguhan dalam bersikap, berucap dan bertindak di dalam melaksanakan tugasnya. Lawannya adalah bohong. (2). Amanah, yaitu kepercayaan yang menjadikan dia memelihara dan menjaga sebaik-baiknya apa yang diamanahkan kepadanya, baik dari orang-orang yang dipimpinnya, terlebih lagi dari Allah swt. Lawannya adalah khianat. (3) Fathonah, yaitu kecerdasan, cakap, dan handal yang melahirkan kemampuan menghadapi dan menanggulangi persoalan yang muncul. Lawannya adalah bodoh. (4). Tabligh, yaitu penyampaian secara jujur dan bertanggung jawab atas segala tindakan yang diambilnya (akuntabilitas dan transparansi). Lawannya adalah menutup-nutupi (kekurangan) dan melindungi (kesalahan).
Di dalam Al-Quran juga dijumpai beberapa ayat yang berhubungan dengan sifat-sifat pokok yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, diantaranya terdapat dalam surat As-Sajdah (32): 24 dan Al-Anbiyaâ (21): 73. Sifat-sifat dimaksud adalah: (1). Kesabaran dan ketabahan. "Kami jadikan mereka pemimpin ketika mereka sabar/tabah". Lihat Q. S. As-Sajdah (32): 24. Kesabaran dan ketabahan dijadikan pertimbangan dalam mengangkat seorang pemimpin. Sifat ini merupakan syarat pokok yang harus ada dalam diri seorang pemimpin. Sedangkan yang lain adalah sifat-sifat yang lahir kemudian akibat adanya sifat (kesabaran) tersebut. (2). Mampu menunjukkan jalan kebahagiaan kepada umatnya sesuai dengan petunjuk Allah swt. Lihat Q. S. Al-Anbiyaâ (21): 73, "Mereka memberi petunjuk dengan perintah Kami". Pemimpin dituntut tidak hanya menunjukkan tetapi mengantar rakyat ke pintu gerbang kebahagiaan. Atau dengan kata lain tidak sekedar mengucapkan dan menganjurkan, tetapi hendaknya mampu mempraktekkan pada diri pribadi kemudian mensosialisasikannya di tengah masyarakat. Pemimpin sejati harus mempunyai kepekaan yang tinggi (sense of crisis), yaitu apabila rakyat menderita dia yang pertama sekali merasakan pedihnya dan apabila rakyat sejahtera cukup dia yang terakhir sekali menikmatinya. (3). Telah membudaya pada diri mereka kebajikan. Lihat Q. S. Al-Anbiyaâ (21): 73, "Dan Kami wahyukan kepada mereka (pemimpin) untuk mengerjakan perbuatan-perbuatan baik dan menegakkan sholat serta menunaikan zakat". Hal ini dapat tercapai (mengantarkan umat kepada kebahagiaan) apabila kebajikan telah mendarah daging dalam diri para pemimpin yang timbul dari keyakinan ilahiyah dan akidah yang mantap tertanam di dalam dada mereka.
Sifat-sifat pokok seorang pemimpin tersebut sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Al-Mubarak seperti dikutip Hafidhuddin (2002), yakni ada empat syarat untuk menjadi pemimpin: Pertama, memiliki aqidah yang benar (aqidah salimah). Kedua, memiliki ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas (`ilmun wasi`un). Ketiga, memiliki akhlak yang mulia (akhlaqulkarimah). Keempat, memiliki kecakapan manajerial dan administratif dalam mengatur urusan-urusan duniawi.
Memilih pemimpin
Dengan mengetahui hakikat kepemimpinan di dalam Islam serta kriteria dan sifat-sifat apa saja yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, maka kita wajib untuk memilih pemimpin sesuai dengan petunjuk Al-Quran dan Hadits.
Kaum muslimin yang benar-benar beriman kepada Allah dan beriman kepada Rasulullah saw dilarang keras untuk memilih pemimpin yang tidak memiliki kepedulian dengan urusan-urusan agama (akidahnya lemah) atau seseorang yang menjadikan agama sebagai bahan permainan/kepentingan tertentu. Sebab pertanggungjawaban atas pengangkatan seseorang pemimpin akan dikembalikan kepada siapa yang mengangkatnya (masyarakat tersebut). Dengan kata lain masyarakat harus selektif dalam memilih pemimpin dan hasil pilihan mereka adalah "cerminâ" siapa mereka. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi saw yang berbunyi: "Sebagaimana keadaan kalian, demikian terangkat pemimpin kalian".
Sikap rakyat terhadap pemimpin
Dalam proses pengangkatan seseorang sebagai pemimpin terdapat keterlibatan pihak lain selain Allah, yaitu masyarakat. Karena yang memilih pemimpin adalah masyarakat. Konsekwensinya masyarakat harus mentaati pemimpin mereka, mencintai, menyenangi, atau sekurangnya tidak membenci. Sabda Rasulullah saw: "Barang siapa yang mengimami (memimpin) sekelompok manusia (walau) dalam sholat, sedangkan mereka tidak menyenanginya, maka sholatnya tidak melampaui kedua telinganya (tidak diterima Allah)".
Di lain pihak pemimpin dituntut untuk memahami kehendak dan memperhatikan penderitaan rakyat. Sebab dalam sejarahnya para rasul tidak diutus kecuali yang mampu memahami bahasa (kehendak) kaumnya serta mengerti (kesusahan) mereka. Lihat Q. S. Ibrahim (14): 4, "Kami tidak pernah mengutus seorang Rasul kecuali dengan bahasa kaumnya". dan Q. S. At-Taubah (9): 129, "Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, terasa berat baginya penderitaanmu lagi sangat mengharapkan kebaikan bagi kamu, sangat penyantun dan penyayang kepada kaum mukmin.
Demikianlah Al-Quran dan Hadits menekankan bagaimana seharusnya kita memilih dan menjadi pemimpin. Sebab memilih pemimpin dengan baik dan benar adalah sama pentingnya dengan menjadi pemimpin yang baik dan benar.(*)

ADAKAH ANWAR BAGAI DIKATA

Yahaya Ismail..Bukanlah satu nama asing bagi segelintir karyawan. Siapa yang tidak kenal pemimpin berbangsa Melayu, kelahiran Cheruk Tok Kun, Bukit Mertajam, yang kini bergelut, bersilat dan berkuntau dengan kes tersohor di Malaysia?
Siapakah yang tidak kenal dengan beliau yang pidatonya berapi-api. Bersembur air liur, diselang-seli dengan ayat-ayat Al-Quran dan petikan kata-kata berbau falsafah yang dihumban di khalayak ramai sejak menjadi pemimpin pelajar di kampus Universiti Malaya?
Siapa yang tidak kenal Anwar Ibrahim yang berkelana seluruh dunia mencari teman-teman di kalangan para pemimpin negara-negara asing untuk mendapat sokongan mereka dalam perjuangannya?
Siapa yang tidak kenal dia yang pernah bermukim bertahun-tahun di penjara Sungai Buloh atas tuduhan menyalahgunakan kuasa dan juga meliwat?
Menjelajahi liku-liku perjuangannya yang serba mencabar, penuh dengan kontroversi, dengan ayat-ayat garangnya menyebabkan orang terpukau dan ternganga mendengar ucapannya yang penuh semangat dalam agendanya yang tersirat.
Tak ramai yang didedahkan dengan kewujudan buku ini..
Dengan gayanya yang tersendiri, rewangan tangannya serta tekanan suaranya dalam berbagai nada, orang menganggap bahawa dia adalah pemimpin yang super hebat, super bijak, super handal dan mungkin menganggap dialah bakal Perdana Menteri yang dinanti-nantikan rakyat Malaysia ini!
Barangkali ada yang super taksub menganggap dia sebagai “Mahdi” yang akan menyelamatkan manusia di bumi Malaysia yang bertuah ini!
Sebenarnya dia sungguh bijak bermain dengan kata-kata untuk memukau mereka yang cepat mengagumi seorang penceramah yang pandai membelenggu para pendengar dengan khalayan politiknya. Memang itulah cara terbaik bagi seorang pemimpin politik yang ingin menimba sokongan dari mereka yang tertarik dengan kata-kata bersemangat tapi berbisa pada mereka yang menjadi sasaran kecamannya.
Saya tidak tahu apakah Anwar mengambil kursus pidato dari institusi tertentu seperti Dale Carnegie atau dia tertarik dengan stail tukang jual ubat kuat yang terdapat di kaki lima Jalan Tuanku Abdul Rahman dan Lorong Haji Taib di masa mudanya.
Secara sinis ada yang berpendapat Anwar kagum dengan stail penjual-penjual ubat di kaki lima yang bijak bermain dengan kata-kata untuk menarik para pendengar membeli ubat kuat super jantan untuk berperang di ranjang.
Mereka yang mengenali Anwar sejak di Kolej Melayu Kuala Kangsar berkata, dia sudah berjinak-jinak belajar berpidato setelah dia terdedah dengan kegiatan persatuan di kolej tersebut terutama dalam persatuan Islam.
Sewaktu belajar di Kolej Melayu yang dianggap sebagai sekolah menengah elit, Anwar menghadapi zaman pancaroba sebagai pelajar yang dikatakan kena buli oleh abang-abang yang digeruni oleh pelajar-pelajar tingkatan bawahan. Dalam kehidupan asrama inilah seorang pelajar akan diuji kesabarannya, kesetiaannya, keakrabannya dengan abang-abang yang lain dalam berbagai aspek kehidupan para lelaki yang mencapai akil baligh.
Anwar tidak kecuali dari kehidupan yang bercampur bau penderitaan dan kesakitan, keseronokan, kenikmatan dan kepasrahan yang mungkin tidak pernah dia lalui di tempat kelahirannya di Cheruk Tok Kun. Inilah asam garam kehidupan yang dilalui Anwar dengan sahabat handainya yang lain.
Kolej Melayu memberi dia peluang menuntut ilmu dan di kolej ini juga dia diuji kematangannya dan kepasrahannya akibat dibuli dan didampingi oleh abang-abangnya di asrama tersebut.
Pada tahun 1993 saya menulis buku “Anwar Ibrahim Antara Nawaitu dan Pesta Boria”. Buku ini banyak mengkritik kepimpinan Anwar setelah menjadi Menteri Kewangan.
Anwar pernah menyuruh orangnya mencari saya dan bawa saya menemuinya.
Dalam pertemuan selama dua jam antara 11.45 malam hingga 1.45 pagi di kediamannya di Bukit Damansara, dia banyak membicarakan hal politik dengan saya dan meminta saya membantunya untuk menentang Ghafar Baba bagi merebut jawatan Timbalan Presiden UMNO.
Tidak ada kisah nostalgia semasa di Maktab Melayu yang dia bicarakan. Saya juga hairan mengapakah dia memanggil saya hanya untuk bercakap mengenai politik?
Barangkali dia kurang senang dengan kritikan saya terhadap kepimpinannya. Justeru itu, sebagai sahabat lama yang sering makan nasi campur bersama di restoran Amjal di Jalan Pantai Bahru, tentulah dia ingin meminta saya menyokong kepimpinannya dan tidak menerbitkan buku-buku politik yang menyerang kepimpinannya.
Selepas pertemuan empat mata dengan beliau di kediamannya, saya tidak menemui dia lagi.
Tiba-tiba pada tahun 1998 selepas Anwar dipecat dari Kabinet dan UMNO, saya dipanggil Cawangan Khas (Special Branch) ke Bukit Aman. Sejak menjadi penulis buku-buku politik, Cawangan Khas menjadi “peminat” saya yang paling setia.
Ada tiga orang pegawai Cawangan Khas yang mewawancarai saya. Di atas meja ada buku saya, “Anwar Ibrahim Antara Nawaitu dan Pesta Boria”.
Apakah ada pandangan saya dalam buku itu yang tidak disenangi pihak polis? Apakah ada isu yang saya dedahkan itu menyentuh Akta Sensitif? Saya bertanya pada diri saya.
Rupa-rupanya saya dipanggil untuk memberi maklumat mengenai secebis kisah yang dipaparkan dalam buku itu.
Mereka bertanya kepada saya, dari mana saya mendapat maklumat mengatakan Anwar seorang homoseks?
Saya terkejut. Tidak ada dalam buku saya menyatakan dia homoseks. Walaupun saya tidak menyatakan secara terus-terang, namun apa yang tersirat dari kehidupan Anwar di Kolej Melayu dianggap mereka, Anwar seorang homoseks!
Mereka mendesak saya mendedahkan orang yang memberi maklumat mengenai hal itu. Mereka tidak memaksa saya kerana mereka boleh mendapat maklumat yang lebih terperinci dari berbagai sumber yang lain.
Sebagai pegawai-pegawai Cawangan Khas, tentulah mereka lebih mudah mendapat rahsia skandal Anwar.
Saya pernah berbincang dengan Tan Sri Megat Junid (Allahyarham) mengenai Anwar. Sewaktu beliau menjadi Timbalan Menteri Kementerian Dalam Negeri, pihak keselamatan Malaysia telah diberi maklumat oleh CIA bahawa Anwar seorang homoseks!
Maklumat ini diperolehi Malaysia pada tahun 1993, sama tahun buku saya “Anwar Ibrahim Antara Nawaitu dan Pesta Boria” diterbitkan! Maka jelaslah kepada saya di Bukit Aman untuk mendapatkan sumber maklumat saya itu!
Saya memperolehi hal tersebut melalui beberapa orang bekas pelajar Kolej Melayu yang mengenali Anwar dari dekat. Oleh kerana skandal itu didedahkan oleh mereka yang sama-sama belajar di Kolej Melayu, maka saya tidak berani menyatakan secara terang-terangan minat Anwar tersebut dalam buku saya.
Saya masih sangsi mengenai skandal itu pada waktu itu. Apabila didedahkan oleh Bukit Aman mengenai selera seks Anwar, dapatlah saya membuat kesimpulan bahawa apa yang didedahkan oleh beberapa orang bekas pelajar Kolej Melayu mengenai Anwar adalah benar.
Mereka yang pernah tinggal di sekolah berasrama, lelaki atau pun perempuan, mengakui ujudnya hubungan lesbian dan homoseks di kalangan mereka.
Namun, kebanyakan yang mencari kepuasan seks sejenis akan meninggalkan tabiat itu setelah keluar asrama dan masuk ke kampus. Malah banyak peminat seks sejenis, menganggap hobi tersebut hanya sebagai pengalaman seks di asrama sewaktu menempuh zaman remaja sahaja!
Apa yang mengejutkan saya, ada seorang pensyarah dari pusat pengajian tinggi memberitahu saya dalam suatu seminar sastera di Shah Alam, bahawa seorang teman pensyarah dalam jabatannya melondeh rahsia bahawa dia mempunyai hubungan intim dengan Anwar. Pensyarah ini seorang lelaki!
Kononnya dia diberi pink form untuk mendapat saham dari Kementerian Kewangan pada waktu Anwar menjadi menterinya. Kononnya Anwar membantu dia dalam bidang pementasan drama.
Kononnya Anwar juga seorang peminat drama! Saya tidak tahu drama jenis apa yang Anwar berminat dan apakah dia juga berhasrat menjadi pelakon drama pada suatu hari nanti? Saya tidak tahu.
Pensyarah tersebut memberikan nama Mr X kepada saya sekiranya saya ingin interbiu sahabat karib Anwar tersebut.
Saya hubungi sahabat saya yang juga menjadi sahabat karib Anwar. Dia juga orang ABIM dan pernah bersama Anwar di Yayasan Anda.
Saya kata, “Brader, saya tau Anwar ada hubungan intim dengan Mr X yang mengajar di sebuah pengajian tinggi di Shah Alam?”.
Secara spontan dia menjawab, “Mana Pakya tau? Please Pakya jangan heboh-hebohkan perkara ini.” Dari nada suaranya jelas kelihatan dia amat bimbang kalau skandal Anwar merebak di kalangan rakyat.
Sebenarnya saya juga tidak berminat hendak menambahkan bebanan mental Anwar setelah dia dipecat dari Kabinet dan UMNO oleh Dr Mahathir Mohamad, Perdana Menteri di waktu itu.
Siapa sangka anak emas kesayangan Mahathir yang disintuklimau bakal menjadi penggantinya tiba-tiba jatuh ditimpa tangga, bintang politik yang gemerlapan menjadi pudar dalam sekelip mata.
Siapa sangka seorang pemimpin muda yang pernah menjadi Timbalan Perdana Menteri merangkap Menteri Kewangan yang dijulang, dipuja, ditatang dan dicium tangan oleh sesetengah pemimpin dan juak-juak yang super mengampu, tiba-tiba hilang kuasa “kesaktiannya” setelah dinyah dari Kabinet dan parti.
Manusia menjadi gagah perkasa, dijulang, dihormati dan digeruni, bila mana dia punya kuasa. Kuasa di tangan seorang pemimpin yang super rakus boleh disalahgunakan untuk memperkukuhkan kedudukan politiknya di kalangan rakyat.
Tapi bila kuasa itu hilang dari tangannya, maka dia akan hilang segala penghormatan dan hanya menjadi manusia pinggiran yang boleh mengaum seperti singa tua yang kehilangan taring dan gigi.
Tapi Anwar bukan sebarang singa tua atau singa sarkis. Dia seperti singa luka yang menerjang angin, menjerit slogan menjulang langit dengan ribuan para penyokong yang melonjak semangat dengan ucapannya seperti naga berapi.
Maka berlakulah reformasi jalanan dengan ribuan manusia, lelaki perempuan, tua muda dan kebanyakannya Melayu, melontar kata-kata nista dan menjerit slogan sambil menyebut nama Anwar dengan harapan lesu beliau akan kembali diterima rakyat sebagai pemimpin tersohor nombor wahid.
Allah Maha Besar dan Maha Berkuasa. Lontarlah segala slogan dan kata-kata sakti mengarak nama Anwar.
Julanglah jasadnya dengan gendang perang demonstrasi menentang kerajaan yang menyingkirkannya dari kekuasaan.
Bawalah segala bomoh, dukun dan pawang darat, pawang laut, udara dan jin tanah, hantu raya dengan segala kabilahnya untuk memperkasakan kehebatan Anwar dengan segala jampi serapah, air liur bercampur merah sirih.
Manusia boleh meminta tapi Allah yang menentukan segalanya.
Mengapakah Anwar yang tersohor dengan ucapannya berapi-api, mata liar, tangan mengenggam azam dan keberaniannya luar biasa masih belum sampai ke Putrajaya, tempat bersemayamnya Perdana Menteri?
Dia terus bersilat dan berkuntau untuk membebaskan diri dan jiwanya dari tuduhan meliwat sejak tahun 1998 hingga sekarang.
Apakah Allah menderanya di atas muka bumi untuk memberi iktibar kepada para pemimpin yang kononnya berjiwa Islam agar jangan berlagak munafik?
Apakah segala mantra dan slogan politik yang terpancut dari mulutnya menjadi kaku dan lesu dan hilang tenaga magisnya bila mana sebahagian besar rakyat sudah bijak menilai siapa Anwar sebenarnya?
Kini banyak orang bertanya siapa Anwar sebenarnya? Apakah dia seorang pejuang Islam nombor wahid atau seorang munafik? Apakah dia seorang patriot yang cinta kasihnya bernafaskan budaya bangsanya dan sanggup hidup mati memperjuangkan hak bangsanya?
Atau apakah dia seorang pengkhianat yang sanggup memperjudikan masa depan negara dan bangsa serta agama untuk menjadi talibarut kuasa asing?
Sesungguhnya Anwar memakai banyak topeng yang beraneka warna untuk menyesuaikan dengan golongan masyarakat dan para pemimpin yang ingin mengenalinya dari dekat. Oleh kerana terlalu banyak topeng yang digemarinya, maka akhirnya dengan kuasa Allah, kini dia sudah melondehkan peribadinya sendiri.
Inilah Anwar dengan segala ketelanjangannya.
Petikan dari buku Yahaya Ismail, “Anwar Ibrahim, pengkhianat Atau Patriot?,” Usaha Teguh Sdn Bhd, 2011.